anti
3 min readSep 12, 2020

Mematahkan Stigma Seksis Mengacu Pada Kisah Nyai Ontosoroh

Foto dari Instagram/@inefebriyanti

Bumi manusia, sebuah maha karya Pramoedya Ananta Toer yang tidak lekang oleh waktu. Di tengah antusiasme orang-orang terhadap karakter Minke, saya malah terpaku pada karakter Nyai Ontosoroh atau Sanikem. Beliau mampu mematahkan stigma bahwa semua wanita pribumi kala itu merupakan kaum terbelakang. Nyai Ontosoroh hadir layaknya cahaya. Menulis, membaca, berhitung, atau bahkan menjalankan bisnis yang sangat besar mampu digarapnya. Nyai Ontosoroh diceritakan hanya sebagai seorang wanita pribumi yang menjadi seorang gundik. Seorang pribumi saja sudah dipandang rendah kala itu, apalagi menjadi seorang gundik. Pun, ketika ia menjadi seorang nyai, ia akan masih dipandang rendah. Sejatinya praktik pergundikan yang marak dilakukan di era kolonial ini selalu dipandang rendah. Wanita-wanita yang menjadi gundik pun, ketika ia menjadi seorang nyai hanya dipandang sebagai properti tuannya. Kala itu memang wanita pribumi yang menjadi korban pergundikan seperti memiiki status sosial paling rendah di masyarakat.

Nyai Ontosoroh atau Sanikem yang kala itu sangat patuh kepada sang ayah tidak bisa berbuat banyak, bahkan ibunya yang berusaha menolong pun tidak membuahkan hasil. Dibawa lah ia menuju Tuan Mellema, dan menjadi gundiknya. Beruntungnya Sanikem kala itu diberi kesempatan untuk menulis, membaca, berhitung, serta mempelajari bahasa Belanda pula. Menjadi seorang wanita pribumi yang cerdas menjadikannya memiliki daya tarik tersendiri. Otaknya cerdas, pola pikirnya pun sudah maju dibandingkan dengan wanita lain. Itu semua karena ia beruntung dan dibarengi dengan kemauan yang kuat untuk menaikkan derajatnya di masyarakat. Namun naas, secerdas-cerdasnya Nyai Ontosoroh, ia hanya dilihat sebagai properti tuannya. Pandangan ini sering kali dilemparkan oleh orang-orang kulit putih kala itu. Perlu kita ingat kembali bahwa pribumi tidak memiliki kekuatan kala kolonial, bahkan campuran pribumi dan orang kulit putih saja kerap kali dipandang sebelah mata.

Terlepas dari itu semua, Nyai Ontosoroh sangat memberikan pelajaran serta inspirasi bagi wanita-wanita yang hidup di zaman modern seperti sekarang. Zaman yang bebas akan praktik pergundikan. Menuntut ilmu tidak sesulit pada era kolonial, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang pun yang dapat merasakan bangku sekolah hanya orang yang memiliki relasi serta materi. Namun, pendidikan non formal selau ada. Artinya selalu ada cara untuk menjadi orang yang terpelajar. Keberaniannya dalam melawan ketidakadilan perlu kita contoh. Mengingat di negara ini, banyak sekali ketidakadilan yang menimpa kaum wanita. Menjadi wanita yang cerdas adalah sebuah kewajiban. Sekarang ini, stigma masyarakat tentang eksistensi wanita hanya untuk memenuhi kebutuhan sumur, kasur, dapur harus dipatahkan. Karena sejak zaman dahulu, ada banyak tokoh yang mati-matian menghapuskan stigma tersebut. Seiring berjalannya waktu, maka kita bertugas untuk mematahkan stigma itu juga. Wanita-wanita di era modern sudah seharusnya lebih cerdas, lebih berani, dan lebih vokal dalam menyuarakan ketidakadilan. Hal-hal yang ada pada Nyai Ontosoroh seharusnya membuka mata kita untuk menjadi wanita modern yang cerdas dan mampu berdiri dengan kaki sendiri. Pandangan bahwa wanita hanya kaum lemah mesti lah dihilangkan cepat atau lambat. Sejatinya wanita cerdas merupakan salah satu elemen yang dibutuhkan untuk membangun bangsa yang baik. Nantinya, generasi-generasi emas pun akan lahir dari rahim seorang wanita yang cerdas. Lalu mereka akan bahu membahu untuk membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik.

Referensi:

Janti, Nur. 2019. Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda. Diakses dari https://historia.id/amp/kultur/articles/nyai-ontosoroh-dan-kisah-pergundikan-di-hindia-belanda-DrLgw

anti
anti

Written by anti

aku menulis apapun, di sini

No responses yet